PRIMENEWS | SAMARINDA– Sepanjang tahun 2024 lalu, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Samarinda, Kalimantan Timur berhasil menyelesaikan 39 perkara dengan pendekatan keadilan restorative atau restirative justice (RJ) sehingga meraih 5 besar tingkat nasional dari Kejaksaan Agung.
Dalam perbincangan khusus dengan Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda Firmansyah Subhan oleh Erman Tale Daulay di channel youtube Tale Trias Info, topik RJ sengaja diangkat untuk lebih mensosialisasikan program Kejaksaan ini dalam penegakan hukum berdasarkan hati nurani.
Program penyelesaian perkara dengan pendekatan humanis ini mendapat sambutan antusias dari masyarakat. Secara khusus Firmansyah Subhan yang dalam kegiatan Rapat Kerja Daerah Kalimantan Timur mendapat penghargaan sebagai juara I dalam penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.
Sejak dipercaya menakhodai Kejaksaan Negeri Samarinda tahun 2023, Firmansyah bersama jajaran telah menyelesaikan atau mengembalikan keadaan seperti keadaan semula beberapa kasus tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana pencurian, kekerasan dalam rumah tangga, penadahan di wilayah Samarinda.
“Kita merespon aktif program Pak Jaksa Agung yang terkait dengan mengedepankan penyelesaian tindak pidana dengan keadilan restoratif, terutama terhadap penanganan perkara yang sudah diatur dalam keputusan Jaksa Agung dan peraturan Jaksa Agung (Perja No, 15 Tahun 2020),” paparnya.
Jaksa Penuntut Umum atau Jaksa Peneliti, kata Firmansyah melakukan penelitian berkas, kemudian memediasi dan memberikan support kepada pihak-pihak yang terkait dengan pidana yang dilakukan oleh beberapa tersangka atau terdakwa yang nantinya bakal diajukan ke pengadilan.
Dengan adanya keberpihakan atau adanya rasa untuk mengembalikan rasa keadilan yang sebenarnya, karena di dalam masyarakat itu sendiri kadang-kadang dengan ketidaktahuan kemudian dengan adanya emosi sesaat, dia melakukan perbuatan pidana.
Sementara itu, untuk penyelesaian perkaranya bisa dilakukan mediasi agar kembali kepada keadaan semula. Beberapa contoh yang ditangani Kejari Samarinda misalnya, kita ada beberapa kasus yang telah ditangani melalui restoratif justice.
Contoh konkritnya adalah ada seorang juru parkir yang dalam melakukan pekerjaannya itu dari rumahnya ke tempat dia bekerja itu naik sepeda. Jadi, tiba-tiba ada orang menawarkan motor dengan harga murah. Dengan ketidaktahuannya dia melihat bahwa ini motor murah.
“Si juru parkir tadi tidak mikir lagi gimana suratnya dan kelengkapan kendaraan itu sehingga ia membelinya. Ternyata motor itu adalah hasil curian. Si juru parkir dilaporkan ke aparat penegak hukum. Karena yang bersangkutan ini adalah orang yang di mata pimpinan atau atasannya orang jujur, tidak pernah melakukan perbuatan pidana, pimpinannya mengganti motor yang dia beli melalui pencurian itu,” jelasnya.
Kasusnya terus bergulir, Jaksa Mediator melihat cerita itu dan mempertemukannya dengan pemilik kendaraan bermotor yang ia beli, dan pemilik motor memaafkan sehingga terjadilah yang namanya restorative justice.
“Untuk memastikan penyelesaian perkaranya dengan pendekatan hati nurani, kita turun langsung ke rumah tersangka dan melihat bagaimana kesehariannya. Ternyata keluarga ini adalah keluarga baik-baik. Hati nurani kita tergerak dengan meminta pendapat tokoh masyarakat dan berbagai pihak, maka perkara tersebut diselesaikan dengan RJ,” tandasnya.
Menurut Firmansyah, mekanisme penyelesaian perkara dengan pendekatan humanis ada mekanismenya. Diawali dari penelitian berkas, melihat esensi dari perbuatan tersangka. Kemudian, JPU mengajukan ke Kasi Pidum, berlanjut ke Kajari, secara berjenjang berlanjut ke Aspidum dan Kajati Kaltim yang kemudian diekspose perkaranya dihadapan JAM Pidum.
“Keputusan akhir ada pada JAM Pidum apakah perkara tersebut memenuhi syarat untuk disetujui diselesaikan dengan pendekatan humanis atau tidak,” tegasnya.
Contoh perkara lainnya yang diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif adalah kekerasan dalam rumah tangga, hanya karena emosi isteri mau minta cerai karena dipukul sama suaminya. Kemudian, suaminya ditahan dan tiba-tiba memiliki kesadaran, sang isteri memaafkan apa yang dilakukan oleh suami.
“Setelah dimediasi, suami-isteri tidak jadi bercerai dan perkaranya diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif serta disaksikan oleh kedua pelah pihak serta tokoh masyarakat,” tuturnya.
Ada banyak perkara tindak pidana yang kalau melihat esensinya dan mengedepankan hati nurani dalam melihat perkaranya, lanjut Firmansyah maka jaksa harus melakukan pendekatan dan memediasi antara tersangka dan korbannya agar tercipta kembali harmoni ditengah-tengan masyarakat.
“Saat ini, masyarakat kita sangat mudah tersulut emosi hanya gara-gara masalah kecil saja langsung lapor ke Polisi, lalu perkaranya lanjut ke Kejaksaan. Setelah diteliti dan dilihat esensinya, perkara tersebut sesungguhnya bisa diselesaikan dengan pendekatan humanis,” katanya.
Perlu digarisbawahi, bahwa penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif bertujuan untuk menciptakan harmoni di tengah masyarakat, dimana korban memaafkan tersangka dan tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
“Artinya, Jaksa Mediator dalam hal ini berupaya untuk mengembalikan keadaan ke keadaan semula, antara tersangka dan korban kembali terjalin komunikasi yang harmonis,” tegasnya.