PRIMENEWS | MEDAN – Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi menerima audiensi dari Komisi A DPRD Sumut dipimpin Ketuanya Hendro Susanto bersama anggota DPRD lainnya, di Rumah Dinas Gubernur, Jalan Jenderal Sudirman Nomor 41 Medan, Rabu (13/4). Dalam pertemuan singkat tersebut disampaikan beberapa hal, khususnya pengelolaan pemerintahan terkait kebijakan Sistem Merit dan penggabungan sejumlah OPD.
Selain Ketua Komisi A Hendro Susanto, turut hadir Wakil Ketua Ricky Anthony, anggota Franky Partogi Sirait, HM Subandi dan anggota dewan lainnya. Sementara Gubernur Edy Rahmayadi didampingi Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Mhd Fitriyus, Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Zubaidi, dan Kepala Biro Administrasi Pimpinan Basarin Yunus Tanjung.
Mengawali perbincangan, Hendro menyampaikan dukungan mereka atas kinerja Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut terkait kebijakan menerapkan sistem merit (Meritokrasi), dimana Gubernur mendapatkan penghargaan Meritokrasi kategori baik dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada 7 Desember 2021 silam di Surabaya.
Dari hasil itu, pihaknya pun mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk meniru atau melakukan replikasi yang sudah bagus di Pemprov Sumut, tentang pelaksanaan sistem merit tersebut. Komisi DPRD Sumut juga sudah menyampaikan hal itu setidaknya kepada Pemko Pematangsiantar dan Pemko Medan.
Selanjutnya ia juga menyampaikan apresiasi bahwa di masa kepemimpinan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah, kinerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) kabupaten/kota semakin baik, dibawah koordinasi Pemprov. Sebab hampir tidak ditemukan adanya kendala signifikan, baik dari segi keberadaan blanko KTP dan efisiensi waktu pencetakan.
Namun, lanjut Hendro, pihaknya sempat menolak usulan penggabungan sejumlah OPD, khususnya Disdukcapil karena menurut mereka, instansi terebut strategis. Untuk itu, legislatif akan mengawal bagaimana kinerja dinas tersebut setelah digabungkan dengan bidang lain.
Senada dengan itu, anggota Komisi A DPRD Sumut, HM Subandi mengatakan bahwa pihaknya mendorong agar merit sistem bisa mengurangi jabatan yang kosong, sehingga tidak terlalu banyak OPD yang dipimpin Pelaksana Tugas (Plt). Agar instansi diisi oleh orang yang tepat, sesuai kemampuannya.
“Kami juga sudah mendorong agar bagaimaa KTP ini tidak jadi barang mahal. Masih ada yang menganggap susah mengurus KTP. Padahal blanko dan alat cetak terus disampaikan Pemprov Sumut ke kabupaten/kota. Ini perlu disampaikan Pak ke daerah, karena kewenangannya (pelaksanaannya) ada di sana. Sementara penilaiannya ke Sumut,” ungkapnya, yang meminta upaya memudahkan pencetakan KTP di kecamatan, terutama bagi kabupaten yang luas.
Menjawab itu, Gubernur Edy Rahmayadi mengatakan bahwa dalam hal merit sistem, keberadaan pimpinan OPD yang beberapa di antaranya masih dijabat seorang Plt, adalah karena aturan Meritokrasi mengharuskan seseorang mempunyai kapasitas sesuai keilmuan yang dimiliki. Sehingga ukurannya, ditentukan melalui seleksi oleh para ahli di bidangnya.
“Bicara Meritokrasi, dia harus diawali dengan pendidikannya. Kalau saya mencoba menelusuri itu (riwayat pendidikan), ini kayaknya kita salah. Tetapi kita kan ini mencocok-cocokkan. Artinya, dokter itu bisa jadi politisi, tetapi politisi belum tentu bisa jadi dokter. Itu yang bertentangan sejak awal dengan Meritokrasi,” jelas Gubernur.
Selanjutnya, kata Gubernur, Meritokrasi adalah pembatasan. Seorang yang terpilih, harusnya melewati seleksi (ujian) yang diberikan tim seleksi berdasarkan aturan dan standar nilai yang ada. Sehingga tidak semua orang bisa menduduki satu kursi pimpinan OPD, jika nilainya tidak mencapai hasil yang ditentukan.
“Contoh awal saat saya masuk (menjabat), ada open bidding (lelang jabatan). Saya kira seperti di masa saya tentara, ada namanya tes prajurit setiap 6 bulan. Di sipil, tak ada tes. Begitu mau pindah jabatan, pindah eselon, khususnya II, open biding dia, tak tahu pun jurusannya,” katanya.
Sedangkan terkait penggabungan sejumlah OPD menjadi satu, Gubernur mengatakan bahwa untuk Disdukcapil, provinsi lebih berperan sebagai koordinator, bukan hal teknis sebagaimana di kabupaten/kota. Serta yang terpenting menurutnya, kualitas aparatur yang sejatinya diperlukan, bukan jabatan.
“Kalau dia eselon II misalnya, bisa sampai Rp100 Juta. Tetapi kalau eselon III, maksimal Rp50 Juta (penghasilan), jadi hemat 50%. saya berpikir karena dasarnya adalah pekerjaan,” tambah Edy.
Kemudian untuk penggabungan OPD tersebut, Pemprov bisa menghemat anggaran hingga Rp800 Miliar (per tahun). Anggaran tersebut bila dialihkan kepada penggunaan lain, bisa untuk membangun setidaknya 16 jembatan.
“Jadi kalau kita ini sekarang, ibarat kapal yang harus diangkat sampai ke permukaan. Ayo sama-sama, kita bisa berbuat untuk Sumatera Utara. Termasuk soal KTP mahal, harusnya gratis, kalau kita semua jujur,” pungkasnya.