PRIMENEWS : Peneliti MIT, Jim Collins dan sekelompok kecil ilmuwan dari MIT serta Harvard mulai mengembangkan sensor yang dapat mendeteksi virus corona COVID-19. Cara ini digunakan untuk menekan biaya pemeriksaan tes usap (swab tes) yang cukup mahal.
Sekadar informasi MIT pertama kali mulai mengembangkan sensor pada 2014. Sensor tersebut dapat mendeteksi virus ebola ketika dibekukan di atas selembar kertas.
“Kami awalnya melakukan ini di atas kertas untuk membuat diagnosa berbasis kertas yang murah. Tapi sekarang telah terbukti efektif pada plastik, kuarsa, dan juga kain,” terang Collins, sebagaimana dilansir Asia One, Senin (18/5/2020).
Mereka telah mempublikasikan penelitian ini pada 2016, dan telah menyesuaikan sensor untuk mendeteksi berbagai virus, seperti virus Zika, SARS, campak, influenza dan hepatitis C.
Kabarnya saat ini, mereka kembali mengutak-atik sensor untuk dapat mendeteksi virus corona COVID-19. Collins dan timnya sedang mengembangkan sensor yang akan menyala ketika seseorang yang terinfeksi virus corona batuk, bersin atau bahkan menghirupnya.
Sinyal neon kemudian akan menyala sebagai indikasi jika orang tersebut terinfeksi. Sensor hanya membutuhkan dua hal yang harus diaktifkan yakni kelembaban melalui partikel pernapasan seperti lendir atau air liur, dan perlu mendeteksi materi genetik virus (urutan genom).
Collins juga mengatakan proyek ini masih dalam tahap yang sangat awal, dan timnya juga berdebat apakah sensor harus tertanam di dalam masker atau sebagai perangkat terpisah. Nantinya perangkat ini dapat diletakkan pada masker apa pun yang tersedia di pasaran.
Sampai sekarang, tim telah menguji sensor untuk mendeteksi virus corona dalam sampel air liur kecil. Sinyal fluoresen dirancang untuk menyala dalam satu hingga tiga jam.
Peralatan tes COVID-19 saat ini yang beredar di Singapura juga membutuhkan waktu tiga jam untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi. Namun, sinyal fluoresens tidak terlihat oleh mata telanjang dan fluorimeter sekarang digunakan untuk mendeteksi cahaya neon.
Collins menyarankan bahwa pejabat publik dapat menggunakan fluorimeter genggam, yang akan menelan biaya sekitar satu dolarnuntuk memindai makser manusia. Tim Collin juga memperkirakan pada 2016 bahwa setiap sensor berharga USD20 atau setara Rp297 ribu dan membutuhkan USD1 atau Rp14 ribu untuk pembuatan.
Sementara biaya alat uji COVID-19 yang saat ini yang digunakan di Singapura untuk menguji satu orang harganya mendekati USD200 atau Rp2,9 juta. Jika sensor ini berhasil, pengujian COVID-19 akan dilakukan lebih efisien dengan biaya lebih murah.
Masker wajah dengan sinyal fluoresens juga dapat digunakan di bandara dan rumah sakit untuk mendeteksi mereka yang terinfeksi secara lebih efektif.
“Anda atau saya bisa menggunakannya dalam perjalanan ke dan dari tempat kerja. Rumah sakit bisa menggunakannya untuk pasien ketika mereka masuk atau menunggu di ruang tunggu sebagai pra-deteksi siapa yang terinfeksi,” lanjutnya.
Tujuan Collins adalah memulai pembuatan masker untuk distribusi publik pada akhir musim panas. Tetapi sekarang, tim dibatasi oleh waktu dan tim yang relatif sedikit. Mereka terkendala oleh jumlah orang yang diizinkan untuk bekerja di lab karena peraturan jarak sosial (social distancing) yang ditetapkan.
Saat ini tes usap hidung (Swab tes) digunakan untuk pengujian COVID-19 untuk menentukan apakah seseorang telah terinfeksi virus corona. Bagi mereka yang telah mengalaminya atau menyaksikan bagaimana pemeriksaan ini dilakukan, mereka akan berpikir kalau prosesnya menyakitkan, dan sangat tidak nyaman.