Desember 7, 2024
17 Pilkada Serenta;

PRIMENEWS | JAKARTA – Keberadaan calon tunggal melawan kotak kosong pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, Kamis (17/9/2020).

“Adanya calon tunggal adalah preseden buruk bagi demokrasi, karena pilihan publik terbatas. Kalau calonnya hanya satu pasang maka publik terbatas pilihannya,” terangnya.

Menurut Wijayanto, keberadaan calon tunggal membuat masyarakat hanya dihadapkan kepada dua pilihan, yakni memilih calon yang ada atau tidak memilih kandidat sama sekali.

“Seandainya calonnya lebih banyak itu menjadi kabar baik bagi demokrasi karena kita memberikan pilihan kepada publik,” ucap dia.

Wijayanto juga menilai adanya fenomena calon tunggal membuat visi misi calon kepala daerah menjadi tidak tajam lantaran tidak ada pembanding dengan visi misi dari kandidat lain.

“Tidak ada yang mengkritik visi misi salah seorang pasangan calon sehingga visi misi menjadi tidak tajam, tidak ada yang mempertajamnya, kita kehilangan peluang untuk mengkontestasikan visi misi dari lebih dari satu calon,” ucap dia.

Keberadaan calon tunggal pada Pilkada 2020, lanjut dia, juga membuktikan gagalnya partai politik dalam menjalankan kaderisasi untuk menelurkan pemimpin selanjutnya.

Wijayanto berpandangan, macetnya kaderisasi dan regenerasi pada partai politik saat ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

“Ketika semua sudah berubah, reformasi sudah berjalan dua dekade tetapi di partai politik kita masih mencatat adanya oligarki, adanya pemimpin partai yang tidak berganti-ganti, adanya ketidaksetaraan di sana, padahal partai politik adalah pilar demokrasi,” kata dia.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan terdapat 25 kabupaten/kota yang memiliki calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2020.

Adapun total bakal pasangan calon yang mengikuti pilkada sebanyak 738 pasangan, terdiri dari 25 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dan 612 pasangan calon bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota.

Masyarakat saat ini tidak bisa lagi dibodohi atau digiring untuk memilih salah satu pasangan calon. Kalau mau jujur dan masyarakat benar-benar menentukan pilihannya berdasarkan hati nurani, ada kemungkinan ongkos politik akan berkurang dan niat untuk melakukan tindak pidana korupsi juga bisa diredam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *