November 21, 2024
1 Sabrina Bahasa

PRIMENEWS | MEDAN – Sebuah bangsa yang luhur dapat dilihat dari kesantunan dalam berbahasanya. Ketika bahasa digunakan untuk ujaran kebencian, hal itu menunjukkan suatu bangsa tidak sedang memperlihatkan jati diri yang luhur.

Hal itu disampaikan Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Sumatera Utara (Sumut) R Sabrina saat menghadiri acara Diskusi Kelompok Terpumpun ‘Keadilan Restoratif dalam Perkara Bahasa dan Hukum’, di Hotel Emerald Garden, Jalan Kol Yos Sudarso Nomor 1 Medan, Kamis (1/4).

“Bahasa menunjukkan bangsa, sebuah bangsa yang luhur ditunjukkan dengan keluhuran atau kesantunan dalam berbahasa, ketika bahasa digunakan negatif untuk saling mencaci, membuat makian ataupun ujaran kebencian, percayalah suatu bangsa itu tidak menunjukan jiwa luhurnya,” ujar Sabrina.

Sabrina juga mengingatkan, agar selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar. Karena salah dalam menggunakan bahasa, akibatnya bisa fatal, bahkan berujung penjara.

“Dahulu kita salah dalam bertutur kata bisa dimaafkan, tapi sekarang tidak bisa lagi hanya sekadar minta maaf, karena bisa dipidanakan, untuk itu janganlah kita memaki orang, karena tidak ada hak kita memaki orang lain,” tambahnya.

Apalagi, saat ini di media sosial, bahasa tidak jarang menjadi salah satu faktor yang bisa menimbulkan konflik sosial. Dunia maya juga sering disalahgunakan sebagai tempat untuk menyebar berita bohong, yang dapat menimbulkan perpisahan.

“Semoga melalui diskusi kelompok terpumpun ini, dapat dirumuskan rancangan model restorasi atau pola pemulihan hubungan kemasyarakatan dalam penanganan konflik kebahasaan yang terjadi di masyarakat,” harapnya.

Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara (BBSU) Maryanto mengatakan, saat ini jumlah kasus sengketa kebahasaan mengalami peningkatan. Pada tahun 2020 tercatat sebanyak 11 kasus terjadi setiap bulannya. Pada periode Januari hingga Maret 2021 sudah terjadi 45 kasus sengketa kebahasaan.

“Persoalan bahasa ini merupakan bagian penting dalam penegakan hukum di Indonesia, sengketa kebahasaan yang banyak terjadi adalah terkait dengan ujaran kebencian di ruang digital,” terangnya.

Kasubbid Bantuan Hukum Polda Sumut AKBP Ramles Napitupulu, mengatakan bahwa maraknya pelanggaran kesusilaan, penghinaan, pencemaran nama baik atau kekerasan yang dilakukan dalam media sosial, telah memberikan kerugian pada pengguna yang lain. Juga dapat menimbulkan rasisme atau kebencian antarindividu maupun antarsuku, agama dan ras.

“Untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam media elektronik tersebut maka Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” ujarnya.

Ramles juga mengatakan bahwa maksud dari Undang-Undang ini adalah untuk mengantisipasi maraknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di media elektronik, serta mengatur batasan-batasan dalam beretika di internet, dengan harapan agar terjaga kesatuan dan keutuhan segenap bangsa Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *